Showing posts with label iptek. Show all posts
Showing posts with label iptek. Show all posts

Sunday, 20 July 2014

Meditasi Menaklukkan Gen Stres


Studi terbaru menunjukkan meditasi dapat menekan gen yang menyebabkan inflamasi. Studi menyentuh epigenetika, sebuah cabang biologi molekuler yang menggoyahkan keyakinan bahwa genotipe menentukan nasib.
Sebuah studi oleh periset di Spanyol, Perancis dan Amerika Serikat menyediakan bukti ilmiah bagi pemikiran bahwa manusia dapat mengubah aktivitas gen dan meningkatkan kesehatan melalui pikiran dan perilaku. Ini juga terkait dengan bidang epigenetika yang tergolong baru, yang mencermati bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah aktivitas gen secara permanen pada tingkat molekuler.
Saat epigenetika muncul sebagai sebuah bidang biologi molekuler awal tahun 90-an, sempat menggoncang pemikiran konvensional bahwa nasib sebuah organisme sudah ditentukan sebelumnya oleh gen.
Bruce Lipton, seorang ahli biologi perkembangan dan penulis yang menyatakan dirinya membantu merintis bidang epigenetika, menjelaskan bahwa sebuah kromosom separuhnya terdiri dari DNA, dan separuh lagi protein. "Ilmuwan hanya fokus kepada DNA, dan melupakan protein - epigenetika mengatakan protein ini turut berperan," kata Lipton kepada DW.

'Alam, asuh, suara'
Ritwick Sawarkar, pimpinan tim Institut Max Planck untuk Immunobiologi dan Epigenetika di Freiburg, Jerman, menjelaskan bagaimana perubahan pada level kromatin sifatnya permanen dan turun-temurun - diwariskan dari ibu ke anak, atau bahkan dari sel ke sel.
Sejumlah studi telah menerangkan aspek genetika, misalnya, bagaimana anak-anak dari para ibu yang hamil pada masa kelaparan di Belanda menderita risiko penyakit yang lebih tinggi begitu dewasa akibat kelaparan yang dialami orangtua mereka. Atau bagaimana anak tikus yang diasuh oleh induknya bereaksi dengan lebih tenang dalam situasi penuh stres saat dewasa ketimbang tikus sebaya yang tidak mendapat jilatan induknya.

Menekan inflamasi melalui meditasi
Dalam studi, yang akan dirilis pada edisi Februari jurnal 'Psychoneuroendocrinology,' para subjek penelitian menunjukkan berkurangnya level gen berpotensi inflamasi setelah 8 jam bermeditasi. Ini berkorelasi dengan kesembuhan fisik yang lebih cepat dari situasi penuh stres.
"Yang berikutnya harus terjadi adalah tindak lanjut secara lebih mekanis," tambahnya, menjelaskan bahwa studi hanya mencermati langkah ketiga dalam proses seseorang merasakan sesuatu, kemudian mengirimkan sinyal yang berujung pada perubahan.
Sawarkar juga mencatat bahwa studi tidak membuktikan perubahan terjadi secara epigenetika, dalam arti secara permanen, meski ia mengakui ini mungkin. "Akan bermanfaat untuk mengobservasi sekelompok orang yang terus bermeditasi untuk waktu yang lama, menaruh mereka dalam situasi penuh stres, kemudian membandingkan mereka dengan sebuah kelompok yang tidak bermeditasi" untuk melihat apakah perubahan epigenetika terjadi, katanya.
Ia juga mengatakan studi "meningkatkan kemampuan konsep meditasi sebagai penangkal stres," yang penting untuk kesehatan, karena "stres menghentikan pertumbuhan dan perawatan tubuh, dan sistem kekebalan tubuh."

Obat psikosomatis
György Irmey, direktur Asosiasi Ketahanan Biologis terhadap Kanker di Heidelberg, kepada DW mengatakan bahwa "penyakit kanker kerap diikuti proses inflamasi."
"Kami menyarankan kepada pasien untuk meditasi," kata Irmey, baik untuk pencegahan maupun pengobatan kanker.
Studi meditasi "bertentangan dengan banyak bidang medis lain yang mengatakan peta genetik memutuskan apa yang terjadi pada pasien," tambah Irmey. Melanjutkan studi menurutnya mungkin dapat membantu menjelaskan fenomena remisi kanker yang terjadi secara spontan.
Sementara Bruce Lipton yakin, manusia dapat menyembuhkan diri sendiri dengan keyakinan dan perilaku. Ia merujuk pada sebuah studi pada tahun 2008 yang menunjukkan bahwa perubahan gizi dan gaya hidup menekan ekspresi gen pro-kanker.
Publik harus mendapat pengetahuan lebih banyak terkait epigenetika perilaku, simpulnya: "Menjaga kesehatan adalah sebuah masalah gaya hidup. Maka perubahan yang harus dilakukan juga terpaut gaya hidup."
Source : http://www.dw.de/meditasi-menaklukkan-gen-stres/a-17370124

Pengembangan Obat Menyontek Sistem Kekebalan Serangga


Sejak awal millennium, kepik Asia berkembang biak dengan cepat di Jerman, menggeser populasi kepik lokal. Keunggulan semacam ini tengah diteliti untuk pengembangan obat.
Kepik Asia, ulat bulu dan kumbang Eropa. Ketiga binatang tersebut punya banyak keunggulan. Pakar serangga Andreas Vilcinskas dari Universitas Gießen mengungkapkan, ketiganya paling sukses dalam evolusi.
"Sukses tentu ada penyebabnya. Salah satunya, serangga mampu memproduksi molekul yang dapatmelawan musuh atau enzim yang dapat beradaptasi pada sumber makanan. Keragaman molekul inilah yang kami teliti untuk kemaslahatan manusia," jelas Vilcinskas.
Kandidat mana yang paling potensial? Nomor satu: Kepik Asia. Sama seperti kepik Eropa, mangsa utamanya adalah kutu daun.
Para peneliti menemukan resep sukses perkembangbiakkan kepik Asia. Darah kepik Asia beracun, hingga tidak dimangsa oleh serangga lain.
"Idenya, membandingkan jenis yang invasif seperti kepik Asia, serta membandingkan sistem kekebalan tubuhnya dengan yang tidak invasif. Dengan cara itu kami menemukan sesuatu," ungkap sang peneliti.
Melawan tuberkulosis dan malaria
Mula-mula darah kepik Asia atau hemo-limfositnya diekstraksi. Kepik tetap hidup meski diberikan rotasi sesaat. Sampel darah kepik dioleskan pada lapisan agar-agar. Lalu selama 24 jam dimasukkan lemari hangat.
Hasilnya menakjubkan. Unsur Harmonin dari darah kepik tidak memungkinkan bakteri hidup. "Harmonin sudah kami ujicoba, dan ampuh melawan bibit penyakit TBC dan juga Malaria. Kini unsur aktif itu dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan obat TBC atau Malaria," tutur Vilcinskas.
Kandidat nomor dua: Ulat bulu, yang kebal gangren. Ulat ini memiliki enzim yang membunuh bibit penyakit. Kembali Vilcinskas menjelaskan: "Sebuah molekul dari ulat bulu ini, sekarang berada dalam tahapan riset klinik untuk pengembangan obat baru dengan keampuhan unik."
Peneliti Mark Salzig dari Universitas Gießen bersama para pakar bioteknologi memicu molekul untuk tumbuh dalam sebuah bioreaktor, yang kondisinya sama dengan di instalasi serupa di industri. Unsur aktif antibiotikanya kemudian dibubuhkan pada agar-agar.
Masih dalam tahap pengembangan
Salzig memaparkan sudah sampai mana penelitiannya berjalan, "Kami relatif sudah cukup jauh. Dalam waktu dekat akan kami ujicoba pada model kulit. Tapi farmasi masih perlu waktu, sebelum dapat sampai tahap penggunaan."
"Meski sudah ada perusahaan farmasi besar yang menyatakan berminat, dan mengembangkan bersama hingga produk final," tambahnya.
Kandidat nomor tiga: Kumbang penggali kubur. Para peneliti mempelajari bagaimana serangga ini mengawetkan makanannya. Jika menemukan bangkai tikus, kumbang akan menguburnya, melapisi dengan ludahnya, agar makanan itu awet.
Para peneliti terus mengejar kumbang yang lebih suka mengubur diri ini. "Kami mencoba, bagaimana bisa memperoleh enzim kumbang tersebut. Bagi industri makanan dan teknik itu sangat menarik," kata Andreas Vilcinskas.
Pemenang lomba belum ada. Yang jelas, banyak serangga punya keunggulan yang bisa dimanfaatkan. Para ilmuwan hanya harus teliti dan sabar untuk menemukannya.
Source : http://www.dw.de/pengembangan-obat-menyontek-sistem-kekebalan-serangga/a-17247973